Sejarah Garis Waktu Minahasa

(4 juta tahun SM)
Indonesia sudah ada sejak masa Pleistocene ketika dihubungkan dengan daratan Asia sekarang.

500.000 SM
Manusia Java (Homo Erectus) ditemukan di Jawa Timur.
Penduduk kepulauan Indonesia sebelumnya berasal dari India atau Burma.

3000 SM
Migrant (orang Malayu) datang dari Cina Selatan dan Indocina, dan mereka mulai mendiami kepulauan.

Read More......

Pahlawan Minahasa

DR. G. SS. Y. Ratulangi (1890-1949)

Click to enlarge
DR. G. SS. Y. Ratulangi
(1890-1949)
Gerungan Saul Samuel Yacob Ratulangi yang lebih dikenal dengan nama Sam Ratulangi lahir pada 5 November 1890 di Tondano, Sulawesi Utara. Setelah menamatkan Hoofden School (Sekolah Raja) di Tondano, ia meneruskan pelajarannya ke sekolah tehnik (KWS) di Jakarta.
Pada tahun 1915 ia berhasil memperoleh ijazah guru ilmu pasti untuk Sekolah Menengah dari negeri Belanda dan empat tahun kemudian memperoleh gelar dokter Ilmu Pasti dan Ilmu Alam di Swiss. Di negeri Belanda ia menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia dan di Swiss menjadi Ketua Organisasi Pelajar-pelajar Asia.
Awal Agustus 1945 Ratulangi diangkat menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Setelah RI terbentuk, ia diangkat menjadi Gubernur Sulawesi yang pertama. Ia ditangkap Belanda dan dibuang ke Serui, Irian Jaya.
Pada 30 Juni 1949, Sam Ratulangi meninggal dunia di Jakarta dalam kedudukan sebagai tawanan musuh (Belanda). Jenazahnya kemudian dimakamkan di Tondano.

Read More......

Bermulanya Minahasa dikenal di Peta Dunia

Simon Kos, seorang Belanda, pejabat VOC di Ternate pada tahun 1630 memasuki tanah Minahasa dibawah pengaruh Spanyol. Kos melaporkan hasil perjalanannya kepada Batavia yang waktu itu menjadi pusat pemerintahan dibawah kekuasaan persekutuan dagang, ‘Verenigde Oost-Indiesche Compagnie.” Kos melaporkan bahwa Sulawesi Utara cukup potensial, baik lahan maupun posisi letaknya strategis sebagai jalur lintas rempah-rempah dari perairan Maluku menuju Asia-Timur. Lagi pula jalur lintas niaga laut lebih tenang bagi pelayaran kapal-kapal kayu dibanding melalui Laut Cina Selatan. Kos melaporkan bahwa kehadiran Spanyol di Laut Sulawesi hingga perairan Maluku Utara merupakan ancaman bagi kepentingan niaga VOC bila ingin menguasai gudang rempah-rempah kepulauan Maluku.
Laporan Simon Kos mendapat perhatian dari Jan Pieter Zoon Coen, Gubernur-Jendral VOC di Batavia yang ingin mengusir Spanyol dari kepulauan Maluku Utara guna melakukan monopoli. Usaha perluasan pengaruh di Laut Sulawesi memperoleh peluang bagi VOC terjadi disaat penduduk Minahasa berjuang menghadapi kolonialisme Spanyol. Minahasa mengalami rawan sosial, dan wanita setempat menjadi korban pemerkosaan dari para musafir Spanyol.
Masa itu VOC memperoleh dukungan dari pemerintahannya yang dilanda trauma kolonialisme Spanyol di Eropa Utara, termasuk Belanda. Invasi itu menyebabkan Belanda perang kemerdekaan di pertengahan abad ke-16 yang mashur dengan sebutan Perang 80 tahun. Spanyol kalah, dan kekalahannya berlanjut hingga Asia-Timur dan Asia-Tenggara serta kawasan Pasifik Barat-Daya. Selain dengan Spanyol, Belanda juga memusuhi Portugis yang juga menjadi saingannya dalam usaha perluasan koloni. Yang terakhir ini juga berlomba adu pengaruh dengan Spanyol memperebutkan gudang produksi rempah-rempah di Maluku sebelum pembentukan pemerintahan gabungan Portugis-Spanyol pada 1580.

Read More......

Walak Dan Pakasa'an

Pengertian walak menurut kamus bahasa Tontemboan yang dikutip Prof G.A. Wilken tahun 1912 dapat berarti:
  1. Cabang keturunan
  2. Rombongan Penduduk
  3. Bahagian Penduduk
  4. Wilayah kediaman cabang keturunan.
Jadi Walak mengandung dua pengertian yakni Serombongan penduduk secabang keturunan dan wilayah yang didiami rombongan penduduk secabang keturuan.
Kepala walak artinya pemimpin masyarakat penduduk secabang keturunan,
Tu’ur Imbalak artinya wilayah pusat kedudukan tempat pertama sebelum masyarakat membentuk cabang-cabang keturuan.
Mawalak artinya membahagi tanah sesuai banyaknya cabang keturunan.
Ipawalak artinya membahagi tanah menurut jumlah anak generasi pertama, tidak termasuk cucu dan cicit.
Penelitian G.A. Wilken ini membantah laporan residen Belanda Wensel yang menulis bahwa arti kata Walak dari bahasa Melayu Balok karena Kapala Walak Minahasa harus menyediakan Balok kayu untuk pemerintah Hindi Belanda abad 18. Kata Walak adalah kata Minahasa asli di wilayah Tontemboan, Tombuluk, Tonsea dan Tondano. Jumlah Walak di Minahasa sebelum jaman Belanda tahun 1679 tidak kita ketahui, ketika Minahasa mengikat perjanjian dengan VOC Belanda, terdapat 20 Walak di Minahasa. Memasuki abad 19, jumlah Walak di Minahasa ada 27.
Penggabungan beberapa Walak yang punya ikatan keluarga dan dialek bahasa serta “Peposanan” membentuk satu “pakasa’an sehingga kepala-kepala Walak Pakasa’an Tombulu abad 17 haruslah keturunan dotu Supit, Lontoh dan Paat. Pakasa’an tertua menurut “A’asaren Tuah Puhuhna” tulisan J.G.F. Riedel tahun 1870 adalah Toungkimbut di wilayah selatan Minahasa sampai Mongondouw, Tountewoh di Tombatu sampai ke utara pantai Likupang disebelah timur Minahasa dan Tombulu dibelahan barat Minahasa dari Sarongsong sampai pantai utara Minahasa.

Read More......

Tona'as Dan Walian Abad Ke-7

Pemimpin Minahasa jaman tempo dulu terdiri dari dua golongan yakni Walian dan Tona’as. Walian mempunyai asal kata “Wali” yang artinya mengantar jalan bersama dan memberi perlindungan. Golongan ini mengatur upacara agama asli Minahasa hingga disebut golongan Pendeta. Mereka ahli membaca tanta-tanda alam dan benda langit, menghitung posisi bulan dan matahari dengan patokan gunung, mengamati munculnya bintang-bintang tertentu seperti “Kateluan” (bintang tiga), “Tetepi” (Meteor) dan sebagainya untuk menentukan musim menanam. Menghafal urutan silsilah sampai puluhan generasi lalu, menghafal ceritera-ceritera dari leluhur-leluhur Minahasa yang terkenal dimasa lalu. Ahli kerajinan membuat pelaratan rumah tangga seperti menenun kain, mengayam tikar, keranjang, sendok kayu, gayung air.
Golongan kedua adalah golongan Tona’as yang mempunyai kata asal “Ta’as”. Kata ini diambil dari nama pohon kayu yang besar dan tumbuh lurus keatas dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan kayu-kayuan seperti hutan, rumah, senjata tombak, pedang dan panah, perahu. Selain itu golongan Tona’as ini juga menentukan di wilayah mana rumah-rumah itu dibangun untuk membentuk sebuah Wanua (Negeri) dan mereka juga yang menjaga keamanan negeri maupun urusan berperang.
Sebelum abad ke-7, masyarakat Minahasa berbentuk Matriargat (hukum ke-ibuan). Bentuk ini digambarkan bahwa golongan Walian wanita yang berkuasa untuk menjalankan pemerintahan “Makarua Siouw” (9x2) sama dengan Dewan 18 orang leluhur dari tiga Pakasa’an (Kesatuan Walak-Walak Purba).
Enam leluhur dari Tongkimbut (Tontemboan sekarang) adalah Ramubene, suaminya Mandei, Riwuatan Tinontong (penenun), suaminya Makaliwe berdiam di wilayah yang sekarang Mongondouw, Pinu’puran, suaminya Mangalu’un (Kalu’un sama dengan sembilan gadis penari), Rukul suaminya bernama Suawa berdiam di wilayah yang sekarang Gorontalo, Lawi Wene suaminya Manambe’an (dewa angin barat) Sambe’ang artinya larangan (posan). Maka Roya (penyanyi Mareindeng) suaminya bernama Manawa’ang.
Sedangkan enam leluhur yang berasal dari Tombulu adalah : Katiwi dengan suaminya Rumengan (gunung Mahawu), Katiambilingan dengan suaminya Pinontoan (Gunung Lokon), Winene’an dengan suaminya Manarangsang (Gunung Wawo), Taretinimbang dengan suaminya Makawalang (gunung Masarang), Wowriei dengan suaminya Tingkulengdengan (dewa pembuat rumah, dewa musik kolintang kayu) Pahizangen dengan suaminya Kumiwel ahli penyakit dari Sarangsong.
Sementara itu enam leluhur yang berasal dari Tontewo (wilayah timur Minahasa) terdiri dari Mangatupat dengan suaminya Manalea (dewa angin timur), Poriwuan bersuami Soputan (gunung Soputan), Mongindouan dengan suaminya Winawatan di wilayah Paniki, Inawatan dengan suaminya Kuambong (dewa anwan rendah atau kabut), Manambeka (sambeka sama dengan kayu bakar di pantai) dewa angin utara, istrinya tidak diketahui namanya kemudian istri Lolombulan. Pemimpin panglima perang pada jaman pemerintahan golongan Walian adalah anak lelaki Katiwei (istri Rumengan) bernama Totokai yang menikah dengan Warangkiran puteri dari Ambilingan (istri Pinontoan).
Pada abad ke-7 telah terjadi perubahan pemerintahan. Pada waktu itu di Minahasa – yang sebelumnya dipegang golongan Walian wanita - beralih ke pemerintahan golongan Tona’as Pria. Mulai dari sini masyarakat Matriargat Minahasa yang tadinya menurut hukum ke-Ibuan berubah menjadi masyarakat Patriargat (hukum ke-Bapaan)., Menjalankan pemerintahan “Makatelu pitu (3x7=21)" atau Dewan 21 orang leluhur pria.
Wakil-wakil dari tiga Pakasa’an Toungkimbut, Toumbulu, Tountowo, mereka adalah ; Kumokomba yang dilantik menjadi Muntu-Untu sebagai pemimpin oleh ketua dewan tua-tua “Potuosan” bernama Kopero dari Tumaratas. Mainalo dari Tounsea sebagai wakil, Siouw Kurur asal Pinaras sebagai penghubung dibantu Rumimbu’uk (Kema) dan Tumewang (Tondano) Marinoya kepala Walian, Mio-Ioh kepala pengadilan dibantu Tamatular (Tomohon) dan Tumilaar (Tounsea), Mamarimbing ahli meramal mendengar bunyi burung, Rumoyong Porong panglima angkatan laut di pulau Lembe, Pangerapan di Pulisan pelayaran perahu, Ponto Mandolang di Pulisan pengurus pelabuhan-pelabuhan, Sumendap di Pulisan pelayaran perahu, Roring Sepang di awaon Tompaso, pengurus upacara-upacara di batu Pinawetengan, Makara’u (Pinamorongan), Pana’aran (Tanawangko), Talumangkun (Kalabat), Makarawung (Amurang), REPI (Lahendong), Pangembatan (Lahendong).
Dalam buku “Toumbulusche Pantheon” tulisan J.G.F. Riedel tahun 1894 telah dikemukakan tentang sistem dewa-dewa Toumbulu yang ternyata mempunya sistem pemerintahan dewa-dewa seluruh Minahasa dengan jabatan yang ditangani leluhur tersebut. Pemerintahan golongan Tona’as abad ke-tujuh sudah punya satu pimpinan dengan gelar Muntu-Untu yang dijabat secara bergantian oleh ketiga sub-etnis utama Minahasa. Misalnya leluhur Ponto Mandolang mengatur pelabuhan Amurang, Wenang (Manado) Kema dan Bentenan dengan berkedudukan di Tanjung Pulisan. Tiap sub-etnis Minahasa mempunya panglima perangnya sendiri-sendiri tapi panglima perang tertinggi adalah raja karena dilantik dan dapat diganti oleh dewan tua-tua yang disebut “Potuosan”.
Dari nama-nama leluhur wanita Minahasa abad ke-7 seperti Riwuatan asal kata Riwu atau Hiwu artinya alat menenun, Poriwuan asal kata Riwu alat menenun, Raumbene asal kata Wene’ artinya padi, menunjukkan Minahasa abad ke-7 telah mengenal padi dan membuat kain tenun.

Read More......

Walian Abad Ke-15

Perdagangan rempah-rempah di Ternate-Tidore oleh pedagang–pedagang berbagai bangsa megakibatkan pelabuhan-pelabuhan di Minahasa menjadi ramai. Bahkan Kaisar Cina-pun, mengirimkan banyak ekspedisi kapal layar Jung ke Malaka, Jawa dan Maluku pada tahun 1292 – 1293. Ekspedisi Cina tersebut dilakukan utuk berperang atau untuk berdagang. Ketika melakukan perdagangan, kapal-kapal layar jung inilah yang membawa keramik porselin ke daerah minahasa. Mereka membawa keramik tersebut untuk ditukarkan dengan beras. Beras yang diperoleh dari Minahasa kemudian dibawa ke Ternate untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Hal itu dilakukan karena raja-raja di Ternate gemar makan nasi, sementara di Ternate sendiri tidak mepunyai tanaman padi. Jalur perdagangan cina ini kemudian diikuti oleh pedagang dari Arab. Salah seorang pedagang asal Arab, Sharif Makdon, pada tahun 1380 melakukan perdagangan dari Ternate, Wenang lalu ke Philippina Selatan. Selain melakukan perdagangan pedagang dari Arab ini melakukan penyebaran agama Islam pada suku Manarouw Mangindanouw. Kemudian jalur ini diikuti para pelaut asal Portugis diantaranya Pedro Alfonso.
Pada tahun 1511, Pedro Alfonso menemukan Ternate, setelah itu armada dagang asal Portugis secara resmi mengirimkan Antonio de Abreu ke Maluku tahun 1512. Pada tahun itu juga Portugis mengirimkan tiga kapal layar ke Manarow (Pulau Manado Tua). Dari pulau tersebut, pedagang asal Portugis melakukan pelayaran dengan menggunakan perahu ke Wenang untuk berunding dengan kepala Walak Ruru Ares. Maksud kedatangan Portugis ke Wenang adalah untuk menyewa sebidang tanah. Tapi keinginan Portugis untuk menyewa tanah di Wenang pupus karena Walak Ruru Ares menolak untuk memberikan tempat bagi mereka. Setelah gagal di Wenang, Protugis kemudian melakukan perjalanan ke Uwuran (Amurang) dan kemudian mendirikan benteng Amurang pada tahun 1512. Ketika tiba didaerah Minahasa (Amurang), Portugis yang saat itu membawa pedagang dan rohaniwan lebih banyak daripada serdadu, belum berani masuk hingga pedalaman. Mereka hanya mampu mendirikan benteng-benteng batu di tepi pantai dan pulau di sekitar Minahasa seperti di Siauw tahun 1518. Walaupun para wanita yang mendiami daerah di tepi pantai sudah banyak yang bersuamikan orang Portugis, tapi masyarakat di daerah pegunungan baru menikah dengan orang-orang kulit putih asal Spanyol pada tahun 1523. Salah satu contoh adalah salah seorang wanita asal Kakaskasen Tomohon bernama Lingkan Wene yang menikah dengan Kapiten spanyol bernama Juan de Avedo. Anak lelaki dari pasangan suami istri ini kemudian diberi nama Mainalo Wula’an karena mempunyai mata bulat bening (Indo Spayol). Perkawinan wanita Minahasa dan pria asal Spanyol ini ternyata tidak disukai Portugis, karena Portugis berasumsi bahwa Spanyol akan menguasai daerah Minahasa. Apalagi ketika itu Spanyol telah mendirikan benteng di Wenang dengan cara menipu Kepala Walak Lolong Lasut menggunakan kulit sapi dari Benggala India yang dibawa Portugis ke Minahasa. Tanah seluas kulit sapi yang dimaksud spanyol adalah tanah seluas tali yang dibuat dari kulit sapi itu. Spanyol kemudian menggunakan orang Mongondouw untuk menduduki benteng Portugis di Amurang pada tahun 1550-an sehinggga akhirnya Spanyol dapat menduduki Minahasa.
Anak Lingkan Wene yang bernama Mainalo Wula’an kemudian dinikahkan dengan gadis asal Tanawangko. Hasil perkawinan mereka membuahkan anak laki-laki yang kemudian dinamakan Mainalo Sarani. Kelak menanjak dewasa, Mainalo Sarani diberi gelar Muntu-Untu sementara istrinya di beri gelar Lingkan Wene. Pada tahun 1630, Muntu-Untu dan Lingkan Wene dibabtis menjadi Kristen oleh Missionaris asal Spanyol dari segi Ordo Fransiscan. Kemudianmereka memperoleh status sebagai Raja Manado.
Bila peran para Walian di Minahasa sebelum abad 15 hanya diketahui dari legenda dan adat kebiasaan, maka pada abad 16 fungsi mereka dapat ditemukan dari surat-surat para Missionaris Portugis dan Spanyol. Seperti dalam surat Pater Blas Palomino tanggal 8 Juni 1619. Sebelum dia terbunuh di Minahasa pada tahun 1622, dia menulis mengenai sikap permusuhan para Walian pemimpin agama suku terhadap para Missionaris asal Spanyol. Dia juga menulis tentang perbuatan Walian Kali yang menghasut kepala Negeri Kali bernama Wongkar untuk menolak dan melarang para Missionaris Spanyol untuk masuk ke pedalaman Minahasa. Dua puluh lima tahun kemudian, surat Pater Juan Yranzo yag ditulis di Manila tahun 1645 menyebutkan tentang pengusiran Spanyol dari tanah Minahasa pada tanggal 10 Agustus 1644. Pengusiran tersebut mengakibatkan terbunuhnya Pater Lorenzo Garalda. Pada hari pertama, 10.000 serdadu Minahasa menangkap 22 orang Spanyol dan membunuh 19 orang. Para Walian Minahasa menghasut masyarakat untuk membunuh semua Missionaris Spanyol. Sayangnya nama-nama Walian Minahasa tersebut tidak disebutkan karena rencana mereka bocor hingga para Missionaris Spanyol sempat mengungsi ke tepi pantai dan berperahu ke Siauw. Dari surat – surat para Missionaris Spanyol jelas terlihat peran Walian golongan agama suku yag jadi motor penggerak peparangan tahun 1644. Tapi dengan terbunuhnya Missionaris Spanyol justru menjadi pupuk penyubur perkembangan Agama Katolik di Minahasa.

Read More......

Tona'as Abad Ke-18

Tahun 1645 kepala-kepala walak Minahasa, Umbo (Tonsea), Lonta’an (Kakaskasen), Lumi (Tomohon), Taulu (Wenang), Kalangi (Ares), Posuma (Tombariri), Sawij (Jurubahasa), memakai perahu raja Siauw untuk berlayar ke Ternate. Mereka ingin menjalin kerjasama dengan V.O.C Belanda. Orang–orang Minahasa ini jelas bukan golongan Walian mereka adalah kepala-kepala Walak dan Kepala Walak Minahasa adalah dari golongan Tona'as.

Perjanjian persahabatan Minahasa dengan Belanda terjadi tahun 1679, ketika itu Minahasa diwakili Supit, Lontoh, dan Paat. Perjanjian persahabatan itu kemudian mengalami beberapa kali perubahan yang akhirnya menempatkan Minahasa sebagai penakluk Belanda. Antara tahun 1700 dan 1800, Belanda sudah berperan sebagai “Tuan Besar” di Minahasa. Mereka mengangkat seorang raja Minahasa dengan jabatan Komandan Kapiten Urbanus Puluwang. selanjutnya dia disebut “Bapa Orang Minahasa”. Dia kemudian mengatur perdagangan beras serta pajak dan memecat Kepala walak antara lain Loho (Tomohon ) Agus Karinda (Negeri Baru). Dia juga menyewa serdadu Kora-Kora Ternate untuk membakar Negeri Atep Kapataran di wilayah pemimpin Tondano, Gerrit Wuisang.

Read More......